RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan Dorong Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak
By Admin
nusakini.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan telah disetujui pada Pembahasan Tingkat 1 (satu) oleh 8 (delapan) fraksi Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 25 Maret 2024. Selanjutnya, RUU ini akan ditindaklanjuti pada Pembahasan Tingkat 2 (dua) dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari mengungkapkan RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan juga memuat peran ayah dan keluarga. Rohika mengatakan pada dasarnya, ayah tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah, tetapi juga memiliki peran yang sangat penting dalam pola pengasuhan anak.
“Peran penting sosok ayah diharapkan dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dalam hal memantau tumbuh kembang mereka. RUU KIA ini harus segera disahkan, karena pada usia 0-2 tahun anak merupakan golden age dimana peran pengasuhan orangtua menjadi sangat penting untuk menjadi indikator tumbuh kembang anak dapat terjamin ke depannya. Bicara soal tanggungjawab pengasuhan merupakan kewajiban bagi orangtua/wali baik ibu maupun ayah,” ujar Rohika dalam Media Talk dengan tema “RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan Dorong Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak”.
Rohika menerangkan pola pengasuhan oleh orangtua dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan; demi kepentingan terbaik bagi anak. Rohika mengatakan peran ayah di Indonesia dalam pengasuhan anak rupanya dinilai masih amat minim. Baru-baru ini, Indonesia masuk peringkat ketiga fatherless country di dunia, atau negara yang "kehilangan" peran ayah. Fenomena fatherless ini membutuhkan perhatian khusus pasalnya, dampak dari minimnya peran ayah cukup besar bagi masa depan anak.
“Oleh karena itu, RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan juga memberikan kesempatan cuti kepada suami untuk mendampingi persalinan istrinya selama 2 (dua) hari dan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan serta dapat ditambahkan cuti lainnya untuk memastikan waktu yang cukup bagi kepentingan terbaik ibu dan anak. Kondisi ini diharapkan dapat membangun ruang aman bagi ibu dan keluarga agar ayah juga dapat mendampingi dan memahami situasi ibu yang bisa jadi mengalami gangguan mental (depresi) dan masalah fisik pasca persalinan,” ungkapnya.
Rohika menambahkan pada dasarnya ayah tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah, tetapi juga memiliki peran dalam pola asuh anak yang sangat dibutuhkan, terutama di fase awal usai kelahiran anak. Mengingat urgensinya yang begitu penting, maka kehadiran RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pola asuh dari ibu dan ayah agar anak tumbuh secara sehat dan cerdas serta untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Dian Ekawati mengungkapkan untuk mengatasi tantangan fatherless country di Indonesia, RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan hadir sebagai langkah mengatasi permasalahan yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak mulai dari persoalan yang membayangi kesehatan mental orangtua pada tahapan pra kehamilan, selama masa kehamilan hingga pasca melahirkan, termasuk pula dalam hal penerapan asas kesetaraan gender dalam pengasuhan anak. Oleh karena itu, tujuan utama RUU ini juga untuk meminimalisasi domestifikasi tanggung jawab pengasuhan hanya pada ibu dan mendorong peran ayah dalam pengasuhan. Memastikan sejak awal, tanggung jawab bersama di keluarga sebagai tingkatan terkecil memuat upaya membangun kesejahteraan ibu dan anak menjadi tanggung jawab bersama sejak awal, demi dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi ibu dan anak, dengan dukungan anggota keluarga lainnya dan lingkungan.
“RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan memberi perhatian penuh pada hak ibu untuk mendapatkan pendidikan terkait isu-isu tentang perawatan, pengasuhan (parenting), dan tumbuh kembang anak. Lebih jauh dari itu, RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan juga mendorong peran dan kehadiran ayah dan keluarga sebagai penyokong utama ibu dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Selain hal tersebut, juga dimuat substansi keluarga untuk menjawab kualitas keluarga dan tipe keluarga tunggal atau yang terkait dalam konteks mengangkat anak, serta penambahan asas kesetaraan gender selain nondiskriminatif, sehingga dapat terlaksana pengasuhan yang mengedepankan keadilan akses sumber daya, partisipasi, pengambilan keputusan dan mendapat manfaat,” ungkap Dian.
Dian mengatakan pasca penetapan diharapakan implementasi RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan melalui peraturan turunannya nanti mengedepankan dan mengakomodir mengenai perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah termasuk mengenai pengelolaan data dan informasi kesejahteraan ibu dan anak.
“Besar harapan rekan-rekan media dan seluruh masyarakat dapat mendukung penetapan RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan melalui edukasi dan jangan melihat secara parsial terkait pemberian cuti saja, namun substansi lainnya yang diarahkan pada upaya mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak yang dapat mendorong peningkatan kualitas pengasuhan di dalam keluarga. Kehadiran RUU ini bukan semata-mata berfokus pada upaya pengesahan RUU namun berbagai hal positif berdampak jangka pendek dan panjang mulai dari peningkatan kualitas hidup perempuan sebagai ibu, pemenuhan hak pekerja perempuan, peningkatan kualitas hidup anak, dan peningkatan peran suami dalam pengasuhan,” ujar Dian.
Sementara itu, Psikolog Anak dan Remaja, Mutia Aprilia mendorong peran ayah dalam pengasuhan anak di keluarga, sebab pengasuhan anak bukan hanya tanggungjawab ibu semata. Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat fakta bahwa anak dengan ayah yang aktif terlibat dalam kehidupannya memiliki kemungkinan lebih besar untuk tumbuh percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi & bersosialisasi yang baik, dan memiliki kecerdasan yang lebih tinggi (dilihat dari skor IQ dan nilai akademik).
Lebih lanjut, Mutia menambahkan dalam jangka panjang, anak dengan ayah yang aktif terlibat dalam kehidupannya memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, memiliki hubungan romantis yang baik, dan terhindar dari berbagai masalah psikologis & perilaku berisiko tinggi ketika beranjak dewasa (contoh: mengonsumsi narkoba, berhubungan seksual di usia dini). (pr/pw)